KATA PENGANTAR
Sungguh Allah telah memberi kita nikmat yang sangat banyak, untuk itu hanya
kepada Allah segala rasa syukur kita panjatkan.
Makalah Nasikh dan mansukh pada mata kuliah ulumul
qur’an ini kami buat untuk menjadi teman belajar sekaligus agar mengetahui
tentang Nasikh dan Mansukh bagi mahasiswa/mahasiswi
Dengan peningkatan mutu relevansi dan daya fikir
diharapkan dapat memberikan dampak bagi perwujudan eksistensi manusia dan
interaksinya sehingga dapat hidup bersama dalam keragaman sosial, budaya, dan
agama. Dengan upaya pula diharapkan
dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat serta daya fikir mahasiswa.
Meningkatkan keteguhan iman dan ketaqwaan serta menciptakan kepribadian
tangguh, ekspresif estetika yang baik dan kualitas jasmani yang prima.
Kritikan yang membangun, informasi dan
gagasan-gagasan inovatif tetap kami harapkan dari dosen agar makalah Nasukh dan
Mansukh ini senantiasa semakin baik. Akhirnya segala upaya hanya kita sandarkan
kepada Allah, semoga Allah selalu memberikan yang terbaik bagi kita. Amin
Salam
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
Segala
puji bagi Allah Tuhan semesta alam, yang telah mencurahkan rahmat dan kasih
sayang Nya kepada seluruh manusia. Tuhan yang memperbuat apa saja yang
dikehendak Nya, yang Besar dan Tinggi, yang Tunggal, dan tidak sesuatu pun yang
menyerupai Nya.
Shalawat
dan Salam dimohonkan untuk penghulu kita, Imam sekalian Rasul, Nabi yang paling
akhir yang diutus Tuhan untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira untuk
hamba-hamba Nya yang saleh dan membawa kabar duka untuk umat yang durhaka. Rasul
yang memanggil umat ke jalan Allah dan menjadi pelita bagi seluruh manusia di
kegelapan zaman, yaitu Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Perjalanan
waktu mengiringi perkembangan alam dan manusia yang menyebabkan berbagai macam
keragaman, baik suku, bangsa, bahasa, kebiasaan atau adat, kebutuhan, dan lain
sebagainya. Sedangkan Alquran telah menjelaskan bahwa islam adalah agama bagi
semesta alam. Artinya islam bersifat global yang berisi aturan dan pedoman
untuk makhluk di seluruh alam semesta. Kebutuhan manusia di tempat yang berbeda
mesti berbeda pula. Adat di suatu tempat belum tentu sama dengan adat di tempat
lain. Begitu juga manusia zaman dahulu mesti memiliki kebutuhan dan adat yang
berbeda dengan manusia saat ini. Oleh karena itu, wajarlah jika Allah menghapus
suatu hukum dengan hukum lain untuk menjaga kepentingan para hamba Nya
berdasarkan pengetahuan Nya tentang yang pertama dan terakhir.
Sesuai
dengan sedikit penjelasan di atas, pada makalah ini kami akan mengangkat salah
satu bab dalam ulumul qur’an yaitu nasikh dan mansukh dengan beberapa sub
babnya. Pada tema ini kami akan menjelaskan beberapa sub bab, yaitu pengertian
nasakh, syarat-syarat adanya nasakh, perbedaan nasakh dan takhshish, dan
pemahaman terhadap perbedaan pendapat tentang ayat Alquran yang mansukh.
Tentunya
kami tidak hanya terpaku dengan sub bab yang telah ditentukan, dengan harapan
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih kepada para pembaca mengenai
bab ini.
Balaraja, April 2012
Penulis
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Nasakh
dan Mansukh
A.
Pengertian
Nasakh
Secara bahasa nasakh berasal dari kata
نسخ – ينسخ – نسخ
yang
memiliki beberapa arti, yaitu sebagai berikut :
1. Nasakh
berarti izalah (menghilangkan),
contohnya
ونسخت
الريح اثر المشي
artinya,
angin menghilangkan jejak perjalanan.
2. Nasakh
berarti memindahkan atau menukilkan dari suatu tempat ketempat lain, contohnya :
إِنَّا
كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Kami memindahkan amal
perbuatan ke dalam lembaran. {al Jasiyah
(45):29}1
3. Nasakh
berarti tabdil (mengganti atau menukar),
contohnya :
وَإِذَا
بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ
Dan apabila kami
mengganti atau menukar sesuatu ayat di tempat suatu ayat yang lain. (an Nahl (16):
101).
4. Nasakh
berarti tahwil (memalingkan), seperti
memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain.2
Sedangkan nasakh secara istilah memiliki
pengertian yang beragam, para ulama pun memiliki definisi yang berbeda-beda
walaupun maksudnya hampir sama, diantaranya ada yang mendefinisikan penghapusan
hukum syara dengan khitab syara dan ada pula yang mendifinisikan, penghapusan
hukum syara dengan dalil syara yang lain. Ulama-ulama mutaqaddimin bahkan
memperluas arti nasakh hingga mencakup :
1. Pembatalan
hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
2. Pengecualian
hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian.
3. Penjelasan
susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius.
4. Penetapan
syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau
menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum terdahulu.3
Pembahasan mengenai nasakh, selain
dibahas dalam ulumul qur’an juga dibahas dalam ilmu ushul fiqh. Dan pengertian
nasakh menurut para ahli ilmu ushul adalah pembatalan pemberlakuan hukum syar’i
dengan dalil yang datang belakangan dari hukum yang sebelumnya, yang
menunjukkan pembatalannya baik secara terang-terangan atau secara kandungannya
saja, baik pembatalan secara umum ataupun pembatalan secara kandungannya saja
karena suatu kemaslahatan yang menghendakinya. Atau nasakh adalah menyatakan
dalil susulan yang mengandung penghapusan pemberlakuan dalil yang terdahulu.4
Demikian berbagai pengertian yang
diungkapkan para ulama, baik ulama ulumul qur’an ataupun ulama ahli ushul
tentang nasakh. Dan dari berbagai pengertian tersebut, penulis menyimpulkan
bahwa nasakh adalah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ yang terlebih
dahulu datang dengan dalil hukum syara’ lain yang datang kemudian. Nasakh
merupakan istilah untuk dua hal, yaitu nasikh dan mansukh seperti dalam tata
Bahasa Arab istilah idhofah untuk dua hal, yaitu mudhof dan mudhofun ilaih.
Nasikh adalah dalil atau hukum yang
menghapus dalil atau hukum lain. Sedangkan mansukh adalah dalil atau hukum yang
dihapus atau diangkat. Adanya nasakh
sebagaimana yang disepakati oleh jumhur ulama, itu berdasarkan firman Allah,
yaitu :
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ
بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِير
Apa
saja ayat yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang
sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu? {al Baqarah (2):106}.
Di
dalam tafsir al Misbah, dijelaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya,
yang berbicara tentang orang orang Yahudi. Demikian erat hubungan maknanya,
sampai sampai awalnya tidak dibubuhi huruf waw (dan) seperti yang biasa
menghiasi ayat ayat lain saat berpindah dari suatu persoalan ke persoalan lain.
Seperti terbaca pada ayat ayat yang
lalu, banyak orang Yahudi yang enggan menerima ayat suci Alquran serta
berkeberatan terhadap Allah yang menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw. Karena
itu, mereka selalu berusaha mencari celah untuk membuktikan kelemahan Alquran.
Mereka berdalih bahwa Allah tidak mungkin mengubah ketetapan ketetapan Nya.
Pengubahan menjadikan syariat agama mereka tidak berlaku lagi bila mereka
mengakui agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. pengubahan juga dapat
berarti bahwa Tuhan tadinya tidak tahu, dan bila mengubahnya pastilah ada
sesuatu yang baru Tuhan ketahui.
Allah membantah mereka dengan
menyatakan: “Kami tidak menasakhkan satu ayat pun, baik dengan membatalkan
hukumnya atau pun mengalihkannya, atau Kami menagguhkan hukum pelaksanaan nya
kecuali Kami datang yang lebih baik darinya atau sebanding dengannya seperi
pembatalan kehalalan pengucapan “raa’ina” terhadap Nabi Muhammad saw. dengan
kata “unzhurna”. Tiadakah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa
atas segala sesuatu? Tiadakah engkau, wahai pendengar ayat ini, mengetahui
bahwa kerajaan langit dan bumi adalah milik Allah sehingga Dia dapat melakukan
apa saja sesuai dengan hikmah kebijaksaan Nya? Dan tidak pulakah engkau
mengetahui bahwa tiada bagimu selain Allah satu pelindung maupun satu
penolong”.
Kata (نسخ) nasakh mempunyai banyak arti,
antara lain membatalkan, mengganti, mengubah, menyalin, dan lain sebagainya.
Dari segi hubungan antar ayat, kita dapat mengatakan bahwa larangan mengucapkan
raa’ina dan mengganti dengan unzhurna, seperti tuntunan ayat yang lalu,
merupakan salah satu bentuk penggantian dan pembatalan, paling tidak, dari
tinjauan kebahasaan. Karena itu, wajar jika ayat ini berbicara tentang
penggantian dan pembatalan itu.
Ayat
ini ditutup dengan satu pernyataan yang redaksinya terbaca seakan akan
ditujukan kepada Nabi Muhammad saw., tetapi pada hakekatnya ditujukan kepada
orang Yahudi dan siapa punn yang merasa keberatan dengan kebijaksanaan Allah
itu, Tidakkah engkau mengetahui bahwa Allah kuasa atas segala sesuatu?.
Redaksi semacam ini mengandung kecaman
yang lebih pedas daripada yang redaksinya ditujukan langsung kepada yang
dimaksud. Kecaman yang sama berlanjut pada ayat berikutnya, yaitu Tidakkah
engkau mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah milik Allah? Dia
mengatur, mengendalikan, dan melakukan apa saja sesuai dengan hikmah
kebijaksanaan Nya. Dan tiada bagimu selain Allah pelindung dan pembimbing dalam
kehidupan spiritual dan material maupun satu penolong yang dapat memberi
pertolongan menghadapi kesulitan apapun.5
B.
Hikmah
Nasakh
Adanya nasakh dalam dalil-dalil, baik
Alquran maupun hadits tentu memiliki beberapa hikmah bagi seluruh umat manusia
yang memiliki budaya, adat, kebiasaan yang berbeda di wilayah yang berebeda dan
bahkan zaman yang berbeda pula. Di antara hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Memelihara
kemaslahatan hamba.
2. Mengembangkan
pensyariatan hukum sampai pada tingkat kesempuranaan, seiring dengan
perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3. Menguji
kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus.
4. Merupakan
kebaikan dan kemudahan bagi umat. Apabila ketentuan nasakh lebih berat dari
pada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala.
Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah dari pada ketentuan
mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.6
C.
Pedoman
Mengetahui Nasakh dan Hikmahnya.
Pengetahuan tentang nasakh dan mansukh
mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi para ahli ilmu, terutam fuqaha,
mufassir, ahli ushul, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan
kabur. Oleh sebab itu, terdapat banyak perkataan sahabat atau tabi’in yang
mendorong agar mengetahui masalah ini.
Untuk
mengetahui nasakh dan mansukh terdapat beberapa cara :
1. Keterangan
tegas dari Nabi dan sahabat-sahabatnya yang tegas menyatakan bahwa ayat ini
dinasakhkan oleh ayat itu.
2. Menetapkan
kemansukhan sesuatu ayat apabila terdapat pertentangan dengan sesuatu ayat yang
lain yang tidak dapat dipertemukan serta diketahui sejarahnya, agar kita
mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang kemudian dalam perspektif
sejarah.
3. Kesepakatan
ulama bahwa ayat ini nasikh dan ayat ini mansukh.
Nasakh tidak dapat
ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufasir atau keadaan dalil-dalil yang
secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman salah seorang
dari dua rawi.7
D.
Syarat-syarat
Adanya Nasakh
Dari
uraian mengenai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menasakh
terdapat beberapa syarat sebagai berikut:
1. Nasakh
hanya terjadi pada dalil-dalil yang berkaitan dengan perintah dan larangan.
Perintah dan larangan tersebut dapat berupa kalimat perintah dan kalimat
perintah yang tegas dan jelas menunjukan perintah dan larangan dan bisa juga
berupa kata atau kalimat lain. Karena banyak redaksi yang menunjukan makna
perintah dan larangan. Diantara redaksi yang menunjukan perintah adalah sebagai
berikut:
a. Perintah
tegas dengan menggunakan kata amara (امر) dan seakar dengannya. Contohnya:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ
وَالإحْسَانِ
Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan. {al Nahl (16): 90}
b. Perintah
dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu dihajibkan atas seseorang dengan
memakai kata kutiba (كتب). Contohnya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa. {al Baqarah(2): 183}
c. Perintah
dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah), namun yang dimaksud
adalah perintah. Contohnya :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. {al Baqarah(2):
228}
d. Perintah
dengan memekai kata kerja secara langsung (fi’il amr). Contohnya:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ
وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Peliharalah
segala salat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah
(dalam salatmu) dengan khusyuk. {al Baqarah(2): 238}
e. Perintah
dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai lam amr. Contohnya :
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ
وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
Kemudian
hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah
mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan tawaf
sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). {al Hajj(22): 29}
f. Perintah
dengan menggunakan kata faradha (فرض). Contohnya :
قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا
عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلا يَكُونَ عَلَيْكَ
حَرَجٌ
Sesungguhnya
Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri
mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan
bagimu. {al Ahzab(33): 50}
g. Perintah
dalam bentuk penilaian bahwa perbuatan itu adalah baik.
Contohnya :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى
قُلْ إِصْلاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ
الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ
Dan
mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: "Mengurus urusan
mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka
adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang
mengadakan perbaikan. {al Baqarah(2): 220}
h. Perintah
dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak atas pelakunya. Contohnya :
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا
فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً
Siapakah
yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya
dengan lipat ganda yang banyak. {al Baqarah(2): 245}8
Sedangkan
redaksi yang menunjukan larangan adalah sebagai berikut :
a. Larangan
secara tegas dengan memakai kata naha (نهى) atau yang seakar dengannya yang
secara bahasa berarti melarang. Contohnya:
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. {al Nahl(16):
90}
b. Larangan
dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan. Contohnya:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ
الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
Katakanlah:
"Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun
yang tersembunyi. {al A’raf(7): 33}
c. Larangan
dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal untuk dilakukan. Contohnya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ
أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa. {al Nisa’(4): 19}
d. Larangan
dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai huruf lam yang menunjukan
larangan (لام النهى).
وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ
إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Dan
janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat. {al An’am(6): 152}
e. Larangan
dengan menggunakan kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan.
Contohnya :
وَذَرُوا ظَاهِرَ الإثْمِ
وَبَاطِنَهُ
Dan
tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. {al An’am(6):120}
f. Larangan
dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan yang pedih. Contohnya: وَالَّذِينَ
يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ
بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih. {al Taubah(9):34}
g. Larangan
dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan. Contohnya:
وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ
يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ
لَهُمْ
Sekali-kali
janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka
dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. {ali Imran(3):180}
h. Larangan
dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri. Contohnya:
إِنِ انْتَهَوْا فَلا عُدْوَانَ
إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ
Jika
mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali
terhadap orang-orang yang lalim. {al Baqarah(2): 193}9
2. Dalil
yang dinasakh tidak berkaitan dengan akidah dan tauhid, karena ajaran semua
agama samawi mengenai akidah dan tauhid itu sama dan tidak mengalami perubahan
sampai akhir zaman.
3. Dalil
yang menunjukkan berakhirnya masa berlaku hukum yang lama itu datang secara
terpisah dan datang terkemudian dari dalil yang dinasakhkan.
4. Hukum
yang mansukh adalah hukum syara’.
5. Dalil
penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari
khitab yang hukumnya mansukh.
6. Khitab
yang mansukh hukumnya tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab
jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut.
Dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.
Segolongan
ulama menegaskan bahwa khitab yang mengisyaratkan waktu dan batas tertentu,
seperti firman Allah,
فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى
يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ
maka
maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintahNya {al
Baqarah (2):109}
adalah
muhkam, tidak mansukh sebab ia dikaitkan dengan batas waktu. Sedang apa yang
dikaitkan dengan batas waktu, tidak ada nash di dalamnya.10
E.
Perbedaan
Nasakh dan Takhshish
Takhshish adalah pembatasan terhadap
keumuman sesuatu yang hanya terjadi pada bagian-bagiannya yang tidak
benar-benar mancabut beberapa bagian dari ketetapan hukum. Ada ulama yang berpendapat bahwa takhshish
adalah mengeluarkan sebagian satuan (afrad)
dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafazh ‘amm.11 Takhshish juga terdapat dalam ilmu ushul fiqh
pada bab ‘amm dan khash, yang berarti penjelasan bahwa maksud hukum syara’ dari
sesuatu yang bersifat umum yang semula itu adalah sebagian dari
satuan-satuannya bukan kesemuanya. Atau ia adalah penjelasan bahwasannya hukum
yang berhubungan dengan lafazh yang umum dari permulaan pembentukan hukumnya
adalah hukum unutk sebagian satuan-satuannya.12 Dan dalam kitab ushul fiqh lain menjelaskan
bahwa pengertian takhshish adalah mengeluarkan sebagian dalil-dalil yang
bersifat umum.13 Salah satu
contoh dari takhshish adalah takhshish dengan sifat, yaitu:
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء : ٩٢)
tentang
kafarat bagi orang yang membunuh orang mukmin dengan tidak sengaja atau
membunuh seorang mukmin yang termasuk golongan musuh.
Setelah memahami masing-masing
pengertian dari nasakh dan takhshish, maka terdapat perbedaan yang prinsip
antara keduanya yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Satuan
yang terdapat dalam nasikh bukan merupakan bagian satuan yang terdapat dalam
mansukh, sedangkan satuan yang terdapat dalam takhshish merupakan bagian satuan
yang terdapat dalam lafazh ‘amm.
2. Nasikh
adalah menghapuskan hukum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil
mansukh, sedangkan takhshish merupakan hukum dari sebagian satuan yang tercakup
dalam dalil ‘amm.
3. Nasikh
hanya terjadi dengan dalil yang datang kemudian, sedangkan takhshish dapat
terjadi dengan dalil yang kemudian datang, maupun menyertai dan mendahuluinya.
4. Nasikh
menghapus hubungan mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas, sedangkan
takhshish tidak menghapuskan hukum ‘amm sama sekali dan hukum ‘amm tetap
berlaku meskipun sudah dikhususkan.
5. Setelah
terjadi nasikh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan
hukum yang terdapat dalam mansukh, sedangkan setelah terjadi takhshish, sisa
satuan yang terdapat pada ‘amm tetap terikat oleh dalil ‘amm.14
F.
Perbedaan
Pendapat Tentang Ayat Alquran yang Mansukh
Sebelum membahas perbedaan para ulama
tentang ayat-ayat Alquran yang mansukh, terlebih dahulu kita membahas tentang
pembagian nasakh. Setelah itu barulah kita membahas pendapat para ulama tentang
nasakh dan ayat Alquran yang mansukh berdasarkan pembagian nasakh tersebut.
Nasakh dibagi menjadi beberapa bagian yang dilihat dari tiga sisi atau segi,
yaitu segi kejelasan dan cakupannya, segi bacaan dan hukumnya, dan dari sisi
otoritas yang lebih berhak menghapus suatu nash. Ada ulama yang sepakat dengan
adanya nasakh, ada ulama yang menolak nasakh sama sekali, dan ada juga ulama
yang sepakat dengan macam nasakh tertentu dengan menolak macam nasakh yang
lain.
Nasakh dari sisi otoritas yang lebih
berhak menghapus seuatu nasakh memiliki empat macam, yaitu sebagai berikut:
1. Nasakh
Alquran dengan Alquran. Maksudnya adalah ayat Alquran yang terlebih dahulu
turun, dinasakh oleh ayat Alquran lain yang datang kemudian. Pembagian nasakh
ini disepakati oleh ulama yang berpandangan bahwa nasakh itu boleh dan ada.
2. Nasakh
Alquran dengan sunah. Nasakh ini dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu :
a. Nasakh
Alquran dengan hadits ahad, mayoritas ulama berpendapat bahwa nasakh ini tidak
boleh. Artinya mereka berpendapat bahwa Alquran tidak bisa dinasakh dengan
hadits ahad, karena hadits ahad bersifat zhanni, sedangkan Alquran itu
mutawatir dan bersifat qoth’i. Jadi tidak mungkin sesuatu yang sudah pasti
dihapus oleh sesuatu yang masih bersifat dugaan.
b. Nasakh
Alquran dengan hadits mutawatir, mayoritas ulama membolehkan nasakh ini,
seperti Imam Malik, Imam Hanbali, Imam Ahmad, Imam Hanafi karena mereka
berpendapat bahwa kedua sama-sama mutawatir. Tetapi mengenai macam ini, baik
mansukh dengan hadits ahad maupun mutawatir Imam Syafi’i tidak membenarkannya.
3. Nasakh
sunah dengan Alquran. Nasakh ini diperbolehakan oleh jumhur ulama. Salah satu
contohnya adalah masalah kiblat. Pada awalnya Rasulullah saw. dan umat Islam
shalat dengan menghadap Baitul Maqdis. Kemudian sunah ini dinasakh oleh ayat
Alquran surat al Baqarah (2) ayat 144:
. فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Maka
palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram. {al Baqarah (2):144}
Contoh
lainnya adalah ketika puasa diwajibkan pada bulan ‘Asyura. Kemudian hal ini
dinasakh dengan Alquran surat al Baqarah (2) ayat 185 yang mewajibkan puasa
pada bulan Ramadhan.
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ
Maka
barang siapa menyaksikan bulan ramadhan, hendaklah ia berpuasa. {al Baqarah
(2):185}
4. Nasakh
sunah dengan sunah. Nasakh ini dibagi menjadi emapat, yaitu nasakh hadits
mutawatir dengan hadits mutawatir, nasakh hadits mutawatir dengan hadits ahad,
nasakh hadits ahad dengan hadits ahad, dan nasakh hadits ahad dengan hadits
mutawatir. Keempat pembagian nasakh ini dibolehkan oleh jumhur ulama kecuali
pembagian nasakh yang kedua. Sebagaimana penjelasan mengenai pembagian nasakh
Alquran dengan hadits ahad di atas. Pembolehan ini karena Rasulullah saw. tidak
mensyariatkan itu, baik sebagai hukum yang mula-mula ditetapkan atau sebagai
hukum yang menasakhkan yang lain.
Macam-macam nasakh dalam Alquran dilihat
dari segi bacaan dan hukumnya ada tiga macam, yaitu nasakh tilawah dan hukum,
nasakh hukum sedang tilawahnya tetap, dan nasakh tilawah sedang hukumnya tetap.
Sedangkan
macam-macam nasakh dalam Alquran dilihat dari segi kejelasan dan cakupannya
dibagi menjadi empat macam, yaitu:
1. Nasikh
sharih, yaitu ayat yang secara jelas menhapus hukum yang terdapat pada ayat
terdahulu.
2. Nasikh
dzimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan tidak dapat
dikompromikan. Keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, dan diketahui
waktu turunnya, maka ayat yang datang kemudian mengahapus ayat yang lebih
dahulu datang.
3. Nasikh
kully, yaitu penghapusan hukum sebelumnya secara keseluruhan.
4. Nasikh
juz’iy, yaitu penghapusan hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan
hukum yang hanya berlaku bagi sebagian invidu, atau penghapusan hukum yang
bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad.15
Sebagaimana telah dijelaskan di atas,
banyak timbul perbedaan mengenai ayat Alquran yang mansukh. Ulama yang menolak
nasakh sepenuhnya adalah Abu Muslim al Asfahani.16 Menurut beliau, Alquran tidak mungkin disentuh
oleh pembatalan. Secara logika nasakh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin
menurut syara’. Beliau sepenuhnya menolak nasakh yang terjadi dalam Alquran
dengan didasari firman Allah:
. لا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ
مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Yang
tidak datang kepadanya (qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari sisi Tuhan yang maha bijaksana lagi maha
terpuji. {Fushshilat (41):42}.
Beliau juga mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan nasakh adalah takhshish. Beliau mengatakan demikian, untuk
menghindari pendirian membatalkan sesuatu hukum yang telah diturunkan Allah.
Imam ar Razi juga sependapat dengan al Asfahani, begitu juga beberapa ulama
seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Taufiq Sidqy, dan al Khudri.17 Abu Muslim membatalkan nasakh, yang menurut
pendapatnya berlawanan dengan firman Allah dalam surat Fushshilat ayat 42 di
atas.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat,
nasakh Alquran adalah sesuatu yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi
dalam hukum-hukum syara’. Argumen jumhur ulama ini didasari oleh beberapa
dalil:
1. Perbuatan-perbuatan
Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintah sesuatu
pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu lain. Karena hanya Dialah yang
lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba Nya.
2. Nash-nash
kitab yang membolehkan nasakh dan terjadinya, yaitu:
. وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً
مَكَانَ آيَةٍ
Dan
apabila kami mengganti suatu ayat di tempat yang lain...{al Nahl (16):101}. Dan
firman Nya:
. مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ
أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا
Apa
saja ayat yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami
datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. {al Baqarah (2):106}.18
Mengenai kemungkinan terjadinya nasakh
dalam Alquran, salah satu ulama ushul dalam bukunya menuturkan bahwa tidak
semua ayat Alquran dapat menerima nasakh, karena di antara nash terdapat yang
muhkamat yang tidak dapat dinasakhkan sama sekali. Seperti diantaranya :
1. Nash-nash
yang mengandung hukum asasi yang tidak dapat berubah dengan perubahan kondisi
manusia, dan tidak akan berbeda baik buruknya dengan perbedaan penilaian,
sebagaimana nash-nash yang mewajibkan iman kepada Allah, para rasul Nya,
kitab-kitab Nya, hari akhir dan seluruh pokok-pokok akidah dan ibadah,
sebagaimana nash-nash yang menetapkan induk keutamaan berupa berbakti kepada kedua
orang tua, jujur, adil, menyampaikan amanat kepada yang berhak, dan yang lain
yang termasuk sesuatu yang tidak terbayangkan keburukannya dalam keadaan apapun dan dalam penilaian yang
manapun, juga seperti nash-nash yang menunjukan terhadap asas-asas yang tercela
berupa syirik kepada Allah, membunuh jika seseorang tanpa suatu hak, melawan
ibu dan bapak, berdusta dan penganiayaan, serta yang lain yang tidak mungkin
terbayangkan bahwa hal itu baik dalam keadaan apapun.
2. Nash-nash
yang mengandung hukum, dan melalui sighatnya ia menunjukkan pengabdiannya,
karena pengabdiannya menghendaki ketiadaan penasakhannya.
3. Nash-nash
yang menunjukkan terhadap berbagai kejadian yang telah terjadi dan memberitakan
tentang peristiwa yang pernah terjadi. Karena penasakhan informatif berarti
pendustaan terhadap orang yang mengkabarkannya. Sedangkan dusta adalah mustahil
bagi Allah.
Ketiga macam nash tersebut tidak dapat
dinasakhkan, sedangkan lainnya bisa menerima nasakh pada masa permulaan
pensyariatan, maksudnya pada masa hidup Rasulullah SAW. bukan sesudahnya.19
Ada
ulama ulumul qur’an yang berkata: “dengan pentahqiqan ini nyatalah lemahnya apa
yang dikatakan oleh kebanyakan ahli tafsir terhadap ayat-ayat yang menyuruh
kita bersikap lemah bahwa ayat-ayat itu telah dimansukhkan dengan ayat pedang.
Sebenarnya bukanlah demikian yaitu setiap perintah yang datang, wajib kita
ikuti di waktu kita memperoleh illat dari perintah itu.
Apabila illatnya telahh hilang,
berpindahlah kita kepada hukum yang lain dan ini tidak dinamakan nasakh. Nasakh
adalah menghilangkan hukum sama sekali, dalam arti tidak boleh dilakukan
selama-lamanya.20
Golongan
yang menetapkan adanya nasakh dalam Alquran telah membagi surat-surat Alquran
kepada beberapa bagian:
1. 43
surat yang tidak ada nasikh mansukh.
2. 6
surat yang terdapat nasikh saja.
3. 40
surat yang terdapat mansukh saja.
4. 31
surat yang terdapat nasikh mansukh.
Perlulah diketahui dan dipegangi bahwa
ayat Alquran semuanya muhkam, bukan mansukh, terkecuali jika ada dalil yang
tegas yang menunjukkan kepada kemansukhannya.
Para ulama ahli tahqiq telah mempelajari
ayat-ayat Alquran yang dikatakan mansukh oleh sebagian ahli tafsir dan mereka
membahasnya dari berbagai jalan sehingga mereka dapat membatasi ayat-ayat yang
dikatakan mansukh dalam bilangan yang kecil. Dan pendapat itu kemudian
dikoreksi lagi oleh ulama-ulama belakangan dapat mengurangi lagi jumlahnya yang
dikatakan mansukh itu.
As Suyuthi umpamanya mengatakan dalam al
Ithqan bahwa ayat masnukh hanya 21 ayat yang sebagiannya diperselisihkan pula
kemudian dia mengecualikan ayat I’tizam dan ayat Qismah yaitu surat an Nur (24)
ayat 58 dan surat an Nisa’ (4) ayat 7. Beliau menegaskan ayat ini muhkamah.
Maka tinggallah 19 ayat yang mansukh menurut beliau.21
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
dan Penutup
A.
Kesimpulan
Nasakh adalah mengangkat atau
menghapuskan hukum syara’ yang terlebih dahulu datang dengan dalil hukum syara’
lain yang datang kemudian. Nasakh sangat berbeda dengan takhshish yang salah
satu perbedaannya adalah nasikh menghapus hubungan mansukh dalam rentang waktu
yang tidak terbatas, sedangkan takhshish tidak menghapuskan hukum ‘amm sama
sekali dan hukum ‘amm tetap berlaku meskipun sudah dikhususkan. Adanya nasakh
sebagaimana yang disepakati oleh jumhur ulama, itu berdasarkan firman Allah,
yaitu :
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ
بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِير
Apa saja ayat yang kami nasakhkan, atau
kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang
sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu? {al Baqarah (2):106}.
Di antara hikmah-hikmah adanya nasakh
adalah memelihara kemaslahatan hamba, mengembangkan pensyariatan hukum sampai
pada tingkat kesempuranaan, menguji kualitas keimanan mukallaf, dan merupakan
kebaikan dan kemudahan bagi umat.
Dalam menasakh terdapat beberapa syarat
yaitu nasakh hanya terjadi pada dalil-dalil yang berkaitan dengan perintah dan
larangan, dalil yang dinasakh tidak berkaitan dengan akidah dan tauhid, hukum yang mansukh adalah hukum syara’, dalil
penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari
khitab yang hukumnya mansukh.
Nasakh dibagi menjadi beberapa bagian
yang dilihat dari tiga sisi atau segi, yaitu segi kejelasan dan cakupannya
(Nasikh sharih, Nasikh dzimmy, Nasikh kully, Nasikh juz’iy), segi bacaan dan
hukumnya (nasakh tilawah dan hukum, nasakh hukum sedang tilawahnya tetap, dan
nasakh tilawah sedang hukumnya tetap), dan dari sisi otoritas yang lebih berhak
menghapus suatu nash (Nasakh Alquran dengan Alquran, Nasakh Alquran dengan
sunah yang dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu nasakh Alquran dengan hadits
ahad dan dengan hadits mutawatir, Nasakh Alquran dengan Alquran, Nasakh Alquran
dengan sunah).
Mengenai perbedaan pendapat mengenai
ayat Alquran yang mansukh dapat disimpulkan bahwa para jumhur ulama berpendapat
bahwa nasakh dalam Alquran dapat diterima oleh akal dan terjadi pada
hukum-hukum syara’, sedangkan Abu Muslim al Asfahani dan beberapa ulama22
menyatakan bahwa secara logika nasakh itu bisa saja terjadi, tetapi tidak
mungkin terjadi menurut syara’.
B.
Penutup
Di bawah genggaman kuasa Allah swt. dan
limpahan nikmat Nya yang tak terhingga, para penulis memanjatkan puji dan
syukur dari lubuk jiwa ke hadirat Allah swt. yang telah memberi anugerah
terindah kepada para penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul “Nasikh Mansukh” tepat sebelum
tiba waktu yang ditentukan.
Para penulis tentunya sudah berusaha
maksimal dalam memanfaatkan waktu untuk
menuangkan segala pikiran dan pengetahuan ke dalam makalah ini. Para penulis
tidak lupa memohon ampun kepada Allah swt. atas kesalahan-kesalahan kami dalam
penulisan makalah ini. Dan tentunya, kritik dan saran sangat penulis harapkan,
guna perbaikan di masa mendatang. Dan harapan para penulis, semoga makalah ini
sangat bermanfaat bagi para penulis, teman-teman, masyarakat, dan semua pihak
yang membaca makalah ini. Amin Ya Rabbal ‘Alamin...
DAFTAR
PUSTAKA
Al Qattan, Manna’ Khalil. Studi
Ilmu-ilmu Alquran. Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa, 2009.
Anwar, Rosihon. Ulumul Qur’an.
Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Al Shiddieqy, Muhammad Hasbi.
Ilmu-ilmu Alquran. Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2009.
Effendi, Satria. Ushul Fiqh.
Jakarta: Prenada Media Group, 2008.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul
Fiqh. Semarang: Dina Utama Semarang,
1994.
Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir Al
Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2010.
عبد الحميدحكيم. مبادئ
اولية. جاكرتا:المكتبة السعدية فترا, ١٩٢٨.
1
Manna’ Khalil al Qattan, Studi Ilmu-ilmu
Qur’an (Bogor:Pustaka Litera
Antar Nusa, 2009), h. 326.
2
Muhammad Hasbi al Shiddieqy, Ilmu-Ilmu
al- Qur’an
(Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 138.
3
Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an (Bandung:Pustaka Setia, 2000), h. 172.
4
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang:Dina Utama
Semarang, 1994), h. 346.
5
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah (Jakarta:Lentera Hati,
2010), h. 345-348.
6
Al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, h. 339.
7
Al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, h. 329-330.
8
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta:Prenada Media Group, 2008), h. 179-
182.
9
Effendi, Ushul Fiqh, h. 187-190.
10
Ini adalah pendapat Makki bin Hamusy bin Muhammad bin Mukhtar al
Qaisi al Muqri, dengan nama panggilan Abu
Muhammad, berasal dari
Qairawan. Ia mempunyai banyak karangan
tentang Ulumul Qur’an dan
Bahasa Arab. Salah satu karyanya adalah al
Nasikh wal Mansukh.
Tinggal di Cordova dan pergi ke Mesir dua
kali. Wafat pada 437 H. Al
Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, h. 327.
11
Anwar, Ulumul Qur’an, h. 173.
12
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 287.
13
عبد الحميدحكيم, مبادئ اولية (جاكرتا:المكتبةالسعديةفترا,١٩٢٨),
ص.١١.
14
Anwar, Ulumul Qur’an, h. 174.
15
Anwar, Ulumul Qur’an, h. 180-182.
16
Ia adalah Muhammad bin Bahr, terkenal dengan Abu Muslim al
Asfahani, seorang Muktazilah yang termasuk
tokoh mufassirin.
Kitabnya yang terpenting adalah Jami’ut
Tamwil, tentang tafsir. Wafat
pada 322 H. Al Qattan, Studi Ilmu-ilmu
Qur’an, h. 332.
17
Anwar, Ulumul Qur’an, h. 178.
18
Al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, h. 333.
19
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 354-356.
20
Pendapat Imam al Zarkasyi dalam al Burhan jilid II hal. 42, al
Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al- Qur’an, h. 144.
21
al Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al- Qur’an, h. 146.
22
Imam al Razi, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Taufiq Sidqy, dan al
Khudri sebagaimana telah disebutkan pada
bab pembahasan.
0 komentar:
Posting Komentar