Kamis, 22 November 2012

NASAKH DAN MANSUKH


KATA PENGANTAR

Sungguh Allah telah memberi kita  nikmat yang sangat banyak, untuk itu hanya kepada Allah segala rasa syukur kita panjatkan.
Makalah Nasikh dan mansukh pada mata kuliah ulumul qur’an ini kami buat untuk menjadi teman belajar sekaligus agar mengetahui tentang Nasikh dan Mansukh bagi mahasiswa/mahasiswi
Dengan peningkatan mutu relevansi dan daya fikir diharapkan dapat memberikan dampak bagi perwujudan eksistensi manusia dan interaksinya sehingga dapat hidup bersama dalam keragaman sosial, budaya, dan agama.  Dengan upaya pula diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat serta daya fikir mahasiswa. Meningkatkan keteguhan iman dan ketaqwaan serta menciptakan kepribadian tangguh, ekspresif estetika yang baik dan kualitas jasmani yang prima.
Kritikan yang membangun, informasi dan gagasan-gagasan inovatif tetap kami harapkan dari dosen agar makalah Nasukh dan Mansukh ini senantiasa semakin baik. Akhirnya segala upaya hanya kita sandarkan kepada Allah, semoga Allah selalu memberikan yang terbaik bagi kita. Amin



Salam

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, yang telah mencurahkan rahmat dan kasih sayang Nya kepada seluruh manusia. Tuhan yang memperbuat apa saja yang dikehendak Nya, yang Besar dan Tinggi, yang Tunggal, dan tidak sesuatu pun yang menyerupai Nya.

Shalawat dan Salam dimohonkan untuk penghulu kita, Imam sekalian Rasul, Nabi yang paling akhir yang diutus Tuhan untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira untuk hamba-hamba Nya yang saleh dan membawa kabar duka untuk umat yang durhaka. Rasul yang memanggil umat ke jalan Allah dan menjadi pelita bagi seluruh manusia di kegelapan zaman, yaitu Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Perjalanan waktu mengiringi perkembangan alam dan manusia yang menyebabkan berbagai macam keragaman, baik suku, bangsa, bahasa, kebiasaan atau adat, kebutuhan, dan lain sebagainya. Sedangkan Alquran telah menjelaskan bahwa islam adalah agama bagi semesta alam. Artinya islam bersifat global yang berisi aturan dan pedoman untuk makhluk di seluruh alam semesta. Kebutuhan manusia di tempat yang berbeda mesti berbeda pula. Adat di suatu tempat belum tentu sama dengan adat di tempat lain. Begitu juga manusia zaman dahulu mesti memiliki kebutuhan dan adat yang berbeda dengan manusia saat ini. Oleh karena itu, wajarlah jika Allah menghapus suatu hukum dengan hukum lain untuk menjaga kepentingan para hamba Nya berdasarkan pengetahuan Nya tentang yang pertama dan terakhir.

Sesuai dengan sedikit penjelasan di atas, pada makalah ini kami akan mengangkat salah satu bab dalam ulumul qur’an yaitu nasikh dan mansukh dengan beberapa sub babnya. Pada tema ini kami akan menjelaskan beberapa sub bab, yaitu pengertian nasakh, syarat-syarat adanya nasakh, perbedaan nasakh dan takhshish, dan pemahaman terhadap perbedaan pendapat tentang ayat Alquran yang mansukh.
Tentunya kami tidak hanya terpaku dengan sub bab yang telah ditentukan, dengan harapan makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih kepada para pembaca mengenai bab ini.



Balaraja,  April 2012


Penulis


BAB II
PEMBAHASAN
2.1.       Nasakh dan Mansukh
A.      Pengertian Nasakh

Secara bahasa nasakh berasal dari kata                  نسخ – ينسخ – نسخ
yang memiliki beberapa arti, yaitu sebagai berikut :
1.    Nasakh berarti izalah (menghilangkan), contohnya
ونسخت الريح اثر المشي
artinya, angin menghilangkan jejak perjalanan.
2.    Nasakh berarti memindahkan atau menukilkan dari suatu tempat ketempat lain, contohnya :
إِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Kami memindahkan amal perbuatan ke dalam lembaran. {al Jasiyah (45):29}1
3.    Nasakh berarti tabdil (mengganti atau menukar), contohnya :
وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ  
Dan apabila kami mengganti atau menukar sesuatu ayat di tempat suatu ayat yang lain. (an Nahl (16): 101).
4.    Nasakh berarti tahwil (memalingkan), seperti memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain.2

Sedangkan nasakh secara istilah memiliki pengertian yang beragam, para ulama pun memiliki definisi yang berbeda-beda walaupun maksudnya hampir sama, diantaranya ada yang mendefinisikan penghapusan hukum syara dengan khitab syara dan ada pula yang mendifinisikan, penghapusan hukum syara dengan dalil syara yang lain. Ulama-ulama mutaqaddimin bahkan memperluas arti nasakh hingga mencakup :

1.    Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
2.    Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian.
3.    Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius.
4.    Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum terdahulu.3

Pembahasan mengenai nasakh, selain dibahas dalam ulumul qur’an juga dibahas dalam ilmu ushul fiqh. Dan pengertian nasakh menurut para ahli ilmu ushul adalah pembatalan pemberlakuan hukum syar’i dengan dalil yang datang belakangan dari hukum yang sebelumnya, yang menunjukkan pembatalannya baik secara terang-terangan atau secara kandungannya saja, baik pembatalan secara umum ataupun pembatalan secara kandungannya saja karena suatu kemaslahatan yang menghendakinya. Atau nasakh adalah menyatakan dalil susulan yang mengandung penghapusan pemberlakuan dalil yang terdahulu.4

Demikian berbagai pengertian yang diungkapkan para ulama, baik ulama ulumul qur’an ataupun ulama ahli ushul tentang nasakh. Dan dari berbagai pengertian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa nasakh adalah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ yang terlebih dahulu datang dengan dalil hukum syara’ lain yang datang kemudian. Nasakh merupakan istilah untuk dua hal, yaitu nasikh dan mansukh seperti dalam tata Bahasa Arab istilah idhofah untuk dua hal, yaitu mudhof dan mudhofun ilaih.

Nasikh adalah dalil atau hukum yang menghapus dalil atau hukum lain. Sedangkan mansukh adalah dalil atau hukum yang dihapus atau diangkat.  Adanya nasakh sebagaimana yang disepakati oleh jumhur ulama, itu berdasarkan firman Allah, yaitu :
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير
Apa saja ayat yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? {al Baqarah (2):106}.
Di dalam tafsir al Misbah, dijelaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya, yang berbicara tentang orang orang Yahudi. Demikian erat hubungan maknanya, sampai sampai awalnya tidak dibubuhi huruf waw (dan) seperti yang biasa menghiasi ayat ayat lain saat berpindah dari suatu persoalan ke persoalan lain.

Seperti terbaca pada ayat ayat yang lalu, banyak orang Yahudi yang enggan menerima ayat suci Alquran serta berkeberatan terhadap Allah yang menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw. Karena itu, mereka selalu berusaha mencari celah untuk membuktikan kelemahan Alquran. Mereka berdalih bahwa Allah tidak mungkin mengubah ketetapan ketetapan Nya. Pengubahan menjadikan syariat agama mereka tidak berlaku lagi bila mereka mengakui agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. pengubahan juga dapat berarti bahwa Tuhan tadinya tidak tahu, dan bila mengubahnya pastilah ada sesuatu yang baru Tuhan ketahui.

Allah membantah mereka dengan menyatakan: “Kami tidak menasakhkan satu ayat pun, baik dengan membatalkan hukumnya atau pun mengalihkannya, atau Kami menagguhkan hukum pelaksanaan nya kecuali Kami datang yang lebih baik darinya atau sebanding dengannya seperi pembatalan kehalalan pengucapan “raa’ina” terhadap Nabi Muhammad saw. dengan kata “unzhurna”. Tiadakah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu? Tiadakah engkau, wahai pendengar ayat ini, mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah milik Allah sehingga Dia dapat melakukan apa saja sesuai dengan hikmah kebijaksaan Nya? Dan tidak pulakah engkau mengetahui bahwa tiada bagimu selain Allah satu pelindung maupun satu penolong”.

Kata (نسخ) nasakh mempunyai banyak arti, antara lain membatalkan, mengganti, mengubah, menyalin, dan lain sebagainya. Dari segi hubungan antar ayat, kita dapat mengatakan bahwa larangan mengucapkan raa’ina dan mengganti dengan unzhurna, seperti tuntunan ayat yang lalu, merupakan salah satu bentuk penggantian dan pembatalan, paling tidak, dari tinjauan kebahasaan. Karena itu, wajar jika ayat ini berbicara tentang penggantian dan pembatalan itu.
Ayat ini ditutup dengan satu pernyataan yang redaksinya terbaca seakan akan ditujukan kepada Nabi Muhammad saw., tetapi pada hakekatnya ditujukan kepada orang Yahudi dan siapa punn yang merasa keberatan dengan kebijaksanaan Allah itu, Tidakkah engkau mengetahui bahwa Allah kuasa atas segala sesuatu?.

Redaksi semacam ini mengandung kecaman yang lebih pedas daripada yang redaksinya ditujukan langsung kepada yang dimaksud. Kecaman yang sama berlanjut pada ayat berikutnya, yaitu Tidakkah engkau mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah milik Allah? Dia mengatur, mengendalikan, dan melakukan apa saja sesuai dengan hikmah kebijaksanaan Nya. Dan tiada bagimu selain Allah pelindung dan pembimbing dalam kehidupan spiritual dan material maupun satu penolong yang dapat memberi pertolongan menghadapi kesulitan apapun.5

B.       Hikmah Nasakh

Adanya nasakh dalam dalil-dalil, baik Alquran maupun hadits tentu memiliki beberapa hikmah bagi seluruh umat manusia yang memiliki budaya, adat, kebiasaan yang berbeda di wilayah yang berebeda dan bahkan zaman yang berbeda pula. Di antara hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Memelihara kemaslahatan hamba.
2.    Mengembangkan pensyariatan hukum sampai pada tingkat kesempuranaan, seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3.    Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus.
4.    Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Apabila ketentuan nasakh lebih berat dari pada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah dari pada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.6
C.      Pedoman Mengetahui Nasakh dan Hikmahnya.

Pengetahuan tentang nasakh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi para ahli ilmu, terutam fuqaha, mufassir, ahli ushul, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur. Oleh sebab itu, terdapat banyak perkataan sahabat atau tabi’in yang mendorong agar mengetahui masalah ini.
Untuk mengetahui nasakh dan mansukh terdapat beberapa cara :
1.    Keterangan tegas dari Nabi dan sahabat-sahabatnya yang tegas menyatakan bahwa ayat ini dinasakhkan oleh ayat itu.
2.    Menetapkan kemansukhan sesuatu ayat apabila terdapat pertentangan dengan sesuatu ayat yang lain yang tidak dapat dipertemukan serta diketahui sejarahnya, agar kita mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang kemudian dalam perspektif sejarah.
3.    Kesepakatan ulama bahwa ayat ini nasikh dan ayat ini mansukh.

Nasakh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufasir atau keadaan dalil-dalil yang secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman salah seorang dari dua rawi.7

D.      Syarat-syarat Adanya Nasakh

Dari uraian mengenai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menasakh terdapat beberapa syarat sebagai berikut:
1.    Nasakh hanya terjadi pada dalil-dalil yang berkaitan dengan perintah dan larangan. Perintah dan larangan tersebut dapat berupa kalimat perintah dan kalimat perintah yang tegas dan jelas menunjukan perintah dan larangan dan bisa juga berupa kata atau kalimat lain. Karena banyak redaksi yang menunjukan makna perintah dan larangan. Diantara redaksi yang menunjukan perintah adalah sebagai berikut:
a.    Perintah tegas dengan menggunakan kata amara (امر) dan seakar dengannya. Contohnya:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ 
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan. {al Nahl (16): 90}
b.    Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu dihajibkan atas seseorang dengan memakai kata kutiba (كتب). Contohnya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa. {al Baqarah(2): 183}
c.    Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah), namun yang dimaksud adalah perintah. Contohnya :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. {al Baqarah(2): 228}
d.   Perintah dengan memekai kata kerja secara langsung (fi’il amr). Contohnya:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. {al Baqarah(2): 238}
e.    Perintah dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai lam amr. Contohnya :
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). {al Hajj(22): 29}
f.     Perintah dengan menggunakan kata faradha (فرض). Contohnya :
قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ
Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. {al Ahzab(33): 50}

g.    Perintah dalam bentuk penilaian bahwa perbuatan itu adalah baik.
Contohnya :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. {al Baqarah(2): 220}
h.    Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak atas pelakunya. Contohnya :
 مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. {al Baqarah(2): 245}8

Sedangkan redaksi yang menunjukan larangan adalah sebagai berikut :
a.    Larangan secara tegas dengan memakai kata naha (نهى) atau yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Contohnya:
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. {al Nahl(16): 90}
b.    Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan. Contohnya:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi. {al A’raf(7): 33}
c.    Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal untuk dilakukan. Contohnya :
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa. {al Nisa’(4): 19}

d.   Larangan dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai huruf lam yang menunjukan larangan (لام النهى).
وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat. {al An’am(6): 152}
e.    Larangan dengan menggunakan kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan. Contohnya :
وَذَرُوا ظَاهِرَ الإثْمِ وَبَاطِنَهُ
Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. {al An’am(6):120}
f.     Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan yang pedih. Contohnya: وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. {al Taubah(9):34}
g.    Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan. Contohnya:
وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. {ali Imran(3):180}
h.    Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri. Contohnya:
إِنِ انْتَهَوْا فَلا عُدْوَانَ إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ
Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang lalim. {al Baqarah(2): 193}9
2.    Dalil yang dinasakh tidak berkaitan dengan akidah dan tauhid, karena ajaran semua agama samawi mengenai akidah dan tauhid itu sama dan tidak mengalami perubahan sampai akhir zaman.
3.    Dalil yang menunjukkan berakhirnya masa berlaku hukum yang lama itu datang secara terpisah dan datang terkemudian dari dalil yang dinasakhkan.
4.    Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.
5.    Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh.
6.    Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.

Segolongan ulama menegaskan bahwa khitab yang mengisyaratkan waktu dan batas tertentu, seperti firman Allah,
فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ
maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintahNya {al Baqarah (2):109}
adalah muhkam, tidak mansukh sebab ia dikaitkan dengan batas waktu. Sedang apa yang dikaitkan dengan batas waktu, tidak ada nash di dalamnya.10

E.       Perbedaan Nasakh dan Takhshish

Takhshish adalah pembatasan terhadap keumuman sesuatu yang hanya terjadi pada bagian-bagiannya yang tidak benar-benar mancabut beberapa bagian dari ketetapan hukum.  Ada ulama yang berpendapat bahwa takhshish adalah mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafazh ‘amm.11  Takhshish juga terdapat dalam ilmu ushul fiqh pada bab ‘amm dan khash, yang berarti penjelasan bahwa maksud hukum syara’ dari sesuatu yang bersifat umum yang semula itu adalah sebagian dari satuan-satuannya bukan kesemuanya. Atau ia adalah penjelasan bahwasannya hukum yang berhubungan dengan lafazh yang umum dari permulaan pembentukan hukumnya adalah hukum unutk sebagian satuan-satuannya.12  Dan dalam kitab ushul fiqh lain menjelaskan bahwa pengertian takhshish adalah mengeluarkan sebagian dalil-dalil yang bersifat umum.13  Salah satu contoh dari takhshish adalah takhshish dengan sifat, yaitu:
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ  (النساء : ٩٢)
tentang kafarat bagi orang yang membunuh orang mukmin dengan tidak sengaja atau membunuh seorang mukmin yang termasuk golongan musuh.

Setelah memahami masing-masing pengertian dari nasakh dan takhshish, maka terdapat perbedaan yang prinsip antara keduanya yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1.    Satuan yang terdapat dalam nasikh bukan merupakan bagian satuan yang terdapat dalam mansukh, sedangkan satuan yang terdapat dalam takhshish merupakan bagian satuan yang terdapat dalam lafazh ‘amm.
2.    Nasikh adalah menghapuskan hukum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh, sedangkan takhshish merupakan hukum dari sebagian satuan yang tercakup dalam dalil ‘amm.
3.    Nasikh hanya terjadi dengan dalil yang datang kemudian, sedangkan takhshish dapat terjadi dengan dalil yang kemudian datang, maupun menyertai dan mendahuluinya.
4.    Nasikh menghapus hubungan mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas, sedangkan takhshish tidak menghapuskan hukum ‘amm sama sekali dan hukum ‘amm tetap berlaku meskipun sudah dikhususkan.
5.    Setelah terjadi nasikh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hukum yang terdapat dalam mansukh, sedangkan setelah terjadi takhshish, sisa satuan yang terdapat pada ‘amm tetap terikat oleh dalil ‘amm.14

F.       Perbedaan Pendapat Tentang Ayat Alquran yang Mansukh

Sebelum membahas perbedaan para ulama tentang ayat-ayat Alquran yang mansukh, terlebih dahulu kita membahas tentang pembagian nasakh. Setelah itu barulah kita membahas pendapat para ulama tentang nasakh dan ayat Alquran yang mansukh berdasarkan pembagian nasakh tersebut. Nasakh dibagi menjadi beberapa bagian yang dilihat dari tiga sisi atau segi, yaitu segi kejelasan dan cakupannya, segi bacaan dan hukumnya, dan dari sisi otoritas yang lebih berhak menghapus suatu nash. Ada ulama yang sepakat dengan adanya nasakh, ada ulama yang menolak nasakh sama sekali, dan ada juga ulama yang sepakat dengan macam nasakh tertentu dengan menolak macam nasakh yang lain.

Nasakh dari sisi otoritas yang lebih berhak menghapus seuatu nasakh memiliki empat macam, yaitu sebagai berikut:
1.    Nasakh Alquran dengan Alquran. Maksudnya adalah ayat Alquran yang terlebih dahulu turun, dinasakh oleh ayat Alquran lain yang datang kemudian. Pembagian nasakh ini disepakati oleh ulama yang berpandangan bahwa nasakh itu boleh dan ada.
2.    Nasakh Alquran dengan sunah. Nasakh ini dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu :
a.    Nasakh Alquran dengan hadits ahad, mayoritas ulama berpendapat bahwa nasakh ini tidak boleh. Artinya mereka berpendapat bahwa Alquran tidak bisa dinasakh dengan hadits ahad, karena hadits ahad bersifat zhanni, sedangkan Alquran itu mutawatir dan bersifat qoth’i. Jadi tidak mungkin sesuatu yang sudah pasti dihapus oleh sesuatu yang masih bersifat dugaan.
b.    Nasakh Alquran dengan hadits mutawatir, mayoritas ulama membolehkan nasakh ini, seperti Imam Malik, Imam Hanbali, Imam Ahmad, Imam Hanafi karena mereka berpendapat bahwa kedua sama-sama mutawatir. Tetapi mengenai macam ini, baik mansukh dengan hadits ahad maupun mutawatir Imam Syafi’i tidak membenarkannya.
3.    Nasakh sunah dengan Alquran. Nasakh ini diperbolehakan oleh jumhur ulama. Salah satu contohnya adalah masalah kiblat. Pada awalnya Rasulullah saw. dan umat Islam shalat dengan menghadap Baitul Maqdis. Kemudian sunah ini dinasakh oleh ayat Alquran surat al Baqarah (2) ayat 144:
. فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Maka palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram. {al Baqarah (2):144}
Contoh lainnya adalah ketika puasa diwajibkan pada bulan ‘Asyura. Kemudian hal ini dinasakh dengan Alquran surat al Baqarah (2) ayat 185 yang mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan.
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Maka barang siapa menyaksikan bulan ramadhan, hendaklah ia berpuasa. {al Baqarah (2):185}
4.    Nasakh sunah dengan sunah. Nasakh ini dibagi menjadi emapat, yaitu nasakh hadits mutawatir dengan hadits mutawatir, nasakh hadits mutawatir dengan hadits ahad, nasakh hadits ahad dengan hadits ahad, dan nasakh hadits ahad dengan hadits mutawatir. Keempat pembagian nasakh ini dibolehkan oleh jumhur ulama kecuali pembagian nasakh yang kedua. Sebagaimana penjelasan mengenai pembagian nasakh Alquran dengan hadits ahad di atas. Pembolehan ini karena Rasulullah saw. tidak mensyariatkan itu, baik sebagai hukum yang mula-mula ditetapkan atau sebagai hukum yang menasakhkan yang lain.

Macam-macam nasakh dalam Alquran dilihat dari segi bacaan dan hukumnya ada tiga macam, yaitu nasakh tilawah dan hukum, nasakh hukum sedang tilawahnya tetap, dan nasakh tilawah sedang hukumnya tetap.
Sedangkan macam-macam nasakh dalam Alquran dilihat dari segi kejelasan dan cakupannya dibagi menjadi empat macam, yaitu:
1.    Nasikh sharih, yaitu ayat yang secara jelas menhapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu.
2.    Nasikh dzimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, dan diketahui waktu turunnya, maka ayat yang datang kemudian mengahapus ayat yang lebih dahulu datang.
3.    Nasikh kully, yaitu penghapusan hukum sebelumnya secara keseluruhan.
4.    Nasikh juz’iy, yaitu penghapusan hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian invidu, atau penghapusan hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad.15
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, banyak timbul perbedaan mengenai ayat Alquran yang mansukh. Ulama yang menolak nasakh sepenuhnya adalah Abu Muslim al Asfahani.16  Menurut beliau, Alquran tidak mungkin disentuh oleh pembatalan. Secara logika nasakh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin menurut syara’. Beliau sepenuhnya menolak nasakh yang terjadi dalam Alquran dengan didasari firman Allah:
. لا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Yang tidak datang kepadanya (qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari sisi Tuhan yang maha bijaksana lagi maha terpuji. {Fushshilat (41):42}.

Beliau juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan nasakh adalah takhshish. Beliau mengatakan demikian, untuk menghindari pendirian membatalkan sesuatu hukum yang telah diturunkan Allah. Imam ar Razi juga sependapat dengan al Asfahani, begitu juga beberapa ulama seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Taufiq Sidqy, dan al Khudri.17  Abu Muslim membatalkan nasakh, yang menurut pendapatnya berlawanan dengan firman Allah dalam surat Fushshilat ayat 42 di atas.

Sedangkan jumhur ulama berpendapat, nasakh Alquran adalah sesuatu yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’. Argumen jumhur ulama ini didasari oleh beberapa dalil:
1.    Perbuatan-perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintah sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu lain. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba Nya.
2.    Nash-nash kitab yang membolehkan nasakh dan terjadinya, yaitu:
. وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ
Dan apabila kami mengganti suatu ayat di tempat yang lain...{al Nahl (16):101}. Dan firman Nya:
. مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا
Apa saja ayat yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. {al Baqarah (2):106}.18
Mengenai kemungkinan terjadinya nasakh dalam Alquran, salah satu ulama ushul dalam bukunya menuturkan bahwa tidak semua ayat Alquran dapat menerima nasakh, karena di antara nash terdapat yang muhkamat yang tidak dapat dinasakhkan sama sekali. Seperti diantaranya :
1.    Nash-nash yang mengandung hukum asasi yang tidak dapat berubah dengan perubahan kondisi manusia, dan tidak akan berbeda baik buruknya dengan perbedaan penilaian, sebagaimana nash-nash yang mewajibkan iman kepada Allah, para rasul Nya, kitab-kitab Nya, hari akhir dan seluruh pokok-pokok akidah dan ibadah, sebagaimana nash-nash yang menetapkan induk keutamaan berupa berbakti kepada kedua orang tua, jujur, adil, menyampaikan amanat kepada yang berhak, dan yang lain yang termasuk sesuatu yang tidak terbayangkan keburukannya  dalam keadaan apapun dan dalam penilaian yang manapun, juga seperti nash-nash yang menunjukan terhadap asas-asas yang tercela berupa syirik kepada Allah, membunuh jika seseorang tanpa suatu hak, melawan ibu dan bapak, berdusta dan penganiayaan, serta yang lain yang tidak mungkin terbayangkan bahwa hal itu baik dalam keadaan apapun.
2.    Nash-nash yang mengandung hukum, dan melalui sighatnya ia menunjukkan pengabdiannya, karena pengabdiannya menghendaki ketiadaan penasakhannya.
3.    Nash-nash yang menunjukkan terhadap berbagai kejadian yang telah terjadi dan memberitakan tentang peristiwa yang pernah terjadi. Karena penasakhan informatif berarti pendustaan terhadap orang yang mengkabarkannya. Sedangkan dusta adalah mustahil bagi Allah.

Ketiga macam nash tersebut tidak dapat dinasakhkan, sedangkan lainnya bisa menerima nasakh pada masa permulaan pensyariatan, maksudnya pada masa hidup Rasulullah SAW. bukan sesudahnya.19
Ada ulama ulumul qur’an yang berkata: “dengan pentahqiqan ini nyatalah lemahnya apa yang dikatakan oleh kebanyakan ahli tafsir terhadap ayat-ayat yang menyuruh kita bersikap lemah bahwa ayat-ayat itu telah dimansukhkan dengan ayat pedang. Sebenarnya bukanlah demikian yaitu setiap perintah yang datang, wajib kita ikuti di waktu kita memperoleh illat dari perintah itu.

Apabila illatnya telahh hilang, berpindahlah kita kepada hukum yang lain dan ini tidak dinamakan nasakh. Nasakh adalah menghilangkan hukum sama sekali, dalam arti tidak boleh dilakukan selama-lamanya.20
Golongan yang menetapkan adanya nasakh dalam Alquran telah membagi surat-surat Alquran kepada beberapa bagian:
1.    43 surat yang tidak ada nasikh mansukh.
2.    6 surat yang terdapat nasikh saja.
3.    40 surat yang terdapat mansukh saja.
4.    31 surat yang terdapat nasikh mansukh.

Perlulah diketahui dan dipegangi bahwa ayat Alquran semuanya muhkam, bukan mansukh, terkecuali jika ada dalil yang tegas yang menunjukkan kepada kemansukhannya.

Para ulama ahli tahqiq telah mempelajari ayat-ayat Alquran yang dikatakan mansukh oleh sebagian ahli tafsir dan mereka membahasnya dari berbagai jalan sehingga mereka dapat membatasi ayat-ayat yang dikatakan mansukh dalam bilangan yang kecil. Dan pendapat itu kemudian dikoreksi lagi oleh ulama-ulama belakangan dapat mengurangi lagi jumlahnya yang dikatakan mansukh itu.

As Suyuthi umpamanya mengatakan dalam al Ithqan bahwa ayat masnukh hanya 21 ayat yang sebagiannya diperselisihkan pula kemudian dia mengecualikan ayat I’tizam dan ayat Qismah yaitu surat an Nur (24) ayat 58 dan surat an Nisa’ (4) ayat 7. Beliau menegaskan ayat ini muhkamah. Maka tinggallah 19 ayat yang mansukh menurut beliau.21


BAB III
PENUTUP
3.1     Kesimpulan dan Penutup
A.      Kesimpulan

Nasakh adalah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ yang terlebih dahulu datang dengan dalil hukum syara’ lain yang datang kemudian. Nasakh sangat berbeda dengan takhshish yang salah satu perbedaannya adalah nasikh menghapus hubungan mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas, sedangkan takhshish tidak menghapuskan hukum ‘amm sama sekali dan hukum ‘amm tetap berlaku meskipun sudah dikhususkan. Adanya nasakh sebagaimana yang disepakati oleh jumhur ulama, itu berdasarkan firman Allah, yaitu :

مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير

Apa saja ayat yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? {al Baqarah (2):106}.

Di antara hikmah-hikmah adanya nasakh adalah memelihara kemaslahatan hamba, mengembangkan pensyariatan hukum sampai pada tingkat kesempuranaan, menguji kualitas keimanan mukallaf, dan merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat.

Dalam menasakh terdapat beberapa syarat yaitu nasakh hanya terjadi pada dalil-dalil yang berkaitan dengan perintah dan larangan, dalil yang dinasakh tidak berkaitan dengan akidah dan tauhid,  hukum yang mansukh adalah hukum syara’, dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh.

Nasakh dibagi menjadi beberapa bagian yang dilihat dari tiga sisi atau segi, yaitu segi kejelasan dan cakupannya (Nasikh sharih, Nasikh dzimmy, Nasikh kully, Nasikh juz’iy), segi bacaan dan hukumnya (nasakh tilawah dan hukum, nasakh hukum sedang tilawahnya tetap, dan nasakh tilawah sedang hukumnya tetap), dan dari sisi otoritas yang lebih berhak menghapus suatu nash (Nasakh Alquran dengan Alquran, Nasakh Alquran dengan sunah yang dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu nasakh Alquran dengan hadits ahad dan dengan hadits mutawatir, Nasakh Alquran dengan Alquran, Nasakh Alquran dengan sunah).

Mengenai perbedaan pendapat mengenai ayat Alquran yang mansukh dapat disimpulkan bahwa para jumhur ulama berpendapat bahwa nasakh dalam Alquran dapat diterima oleh akal dan terjadi pada hukum-hukum syara’, sedangkan Abu Muslim al Asfahani dan beberapa ulama22 menyatakan bahwa secara logika nasakh itu bisa saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara’.

B.       Penutup

Di bawah genggaman kuasa Allah swt. dan limpahan nikmat Nya yang tak terhingga, para penulis memanjatkan puji dan syukur dari lubuk jiwa ke hadirat Allah swt. yang telah memberi anugerah terindah kepada para penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul  “Nasikh Mansukh” tepat sebelum tiba waktu yang ditentukan.

Para penulis tentunya sudah berusaha maksimal dalam memanfaatkan  waktu untuk menuangkan segala pikiran dan pengetahuan ke dalam makalah ini. Para penulis tidak lupa memohon ampun kepada Allah swt. atas kesalahan-kesalahan kami dalam penulisan makalah ini. Dan tentunya, kritik dan saran sangat penulis harapkan, guna perbaikan di masa mendatang. Dan harapan para penulis, semoga makalah ini sangat bermanfaat bagi para penulis, teman-teman, masyarakat, dan semua pihak yang membaca makalah ini. Amin Ya Rabbal ‘Alamin...

DAFTAR PUSTAKA

Al Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu Alquran. Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa,     2009.
Anwar, Rosihon. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Al Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Ilmu-ilmu Alquran. Semarang: Pustaka Rizki
Putra,       2009.
Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Group, 2008.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama Semarang,
1994.
Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir Al Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2010.
عبد الحميدحكيم. مبادئ اولية. جاكرتا:المكتبة السعدية فترا, ١٩٢٨.

1 Manna’ Khalil al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor:Pustaka Litera  
  Antar Nusa, 2009), h. 326.
2 Muhammad Hasbi al Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al- Qur’an 
  (Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 138.
3 Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an (Bandung:Pustaka Setia, 2000), h. 172.
4 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang:Dina Utama
  Semarang, 1994), h. 346.
5 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah (Jakarta:Lentera Hati,
  2010), h. 345-348.
6 Al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, h. 339.
7 Al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, h. 329-330.
8 Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta:Prenada Media Group, 2008), h. 179-
  182.
9 Effendi, Ushul Fiqh, h. 187-190.
10 Ini adalah pendapat Makki bin Hamusy bin Muhammad bin Mukhtar al
   Qaisi al Muqri, dengan nama panggilan Abu Muhammad, berasal dari
   Qairawan. Ia mempunyai banyak karangan tentang Ulumul Qur’an dan
   Bahasa Arab. Salah satu karyanya adalah al Nasikh wal Mansukh.
   Tinggal di Cordova dan pergi ke Mesir dua kali. Wafat pada 437 H. Al
    Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, h. 327.
11 Anwar, Ulumul Qur’an, h. 173.
12 Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 287.
13 عبد الحميدحكيم, مبادئ اولية (جاكرتا:المكتبةالسعديةفترا,١٩٢٨),
   ص.١١.
14 Anwar, Ulumul Qur’an, h. 174.
15 Anwar, Ulumul Qur’an, h. 180-182.
16 Ia adalah Muhammad bin Bahr, terkenal dengan Abu Muslim al
    Asfahani, seorang Muktazilah yang termasuk tokoh mufassirin.
    Kitabnya yang terpenting adalah Jami’ut Tamwil, tentang tafsir. Wafat
    pada 322 H. Al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, h. 332.
17 Anwar, Ulumul Qur’an, h. 178.
18 Al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, h. 333.
19 Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 354-356.
20 Pendapat Imam al Zarkasyi dalam al Burhan jilid II hal. 42, al
    Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al- Qur’an, h. 144.
21 al Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al- Qur’an, h. 146.
22 Imam al Razi, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Taufiq Sidqy, dan al
    Khudri sebagaimana telah disebutkan pada bab pembahasan.


0 komentar:

Posting Komentar

Saya sangat menghargai apabila anda berkata dengan sopan, Terima kasih atas kunjungannya..